Jakarta: Penuh dengan stress
Sudah lama kita mendengar atau bahkan mungkin kita sendiri yang berkomentar bahwa hidup di Jakarta... stress. Beberapa kawan saya bercerita tentang saudara/temannya dari desa yang berkunjung ke Jakarta, ceritanya hampir sama... paling lama satu minggu saudara/temannya itu sudah kembali ke Jakarta dengan alasan yang sama... tidak tahan hidup di Jakarta. Saya sendiri yang lahir, sekolah, bekerja, sampai berkeluarga di Jakarta tidak dapat mengatakan "sudah terbiasa" tinggal di Jakarta. Sering berandai jika saja dapat tinggal di daerah yang lebih "layak" ketimbang hidup di Jakarta.
Apa itu stress? menurut arti kata, stress berarti tekanan. Jadi stress yang dimaksud di sini berarti tekanan hidup yang dihadapi tiap orang dengan tingkat kemampuan yang berbeda-beda. Stress karena menghadapi pekerjaan yang sudah mendekati dead line, stress menghadapi kemacetan yang luar biasa, stress karena belum berhasil mendapat pekerjaan, stress saat menonton adegan horor, dan lain lain. Melihat contoh di atas, stress bukan berarti negatif. Stress adalah suatu realita yang mesti dihadapi. Memang tingkat stress karena hidup di kota besar seperti Jakarta, tentunya berbeda jika dibandingkan hidup di desa/kota kecil.
Apa dampaknya jika kita tidak dapat mengendalikan stress yang kita alami? stress yang berlebihan akan mengakibatkan depresi, yaitu kondisi emosional dimana mental terganggu akibat stress yang tidak dapat dikendalikan/diatasi. Hal ini dapat mengakibatkan kekacauan mental/gangguan jiwa bahkan sampai pada kegilaan.
Hal yang menarik... apakah sebagian warga di Jakarta akan menjadi depresi atau bahkan gila? bisa saja dan waktu yang akan membuktikan.
Kita lihat stress yang dialami sebagian karyawan di Jakarta;
1. Bangun pagi sangat awal (bukan karena ingin sholat Subuh di mesjid), mandi, berpakaian, sarapan (kadang tidak sempat) dan siap2 berangkat.... stress tahap awal
2. Keluar dari kompleks rumah mendapati kenyataan jalan sudah dipadati kendaraan, untuk masuk ke jalan tersebut harus berjuang karena banyak yang tidak bersedia memberi jalan... stress kedua
3. Masuk jalan tol alias jalan bebas hambatan yang dimeriahkan oleh parade kendaraan yang bergerak dengan kecepatan 10 - 20 km/jam... stress ketiga
4. Secara kebetulan mendapati mobil di depan yang secara paksa diambil kaca spionnya... stress keempat
4. Menjelang kantor dan melihat waktu sudah hampir lewat jam masuk... stress kelima
5. Menghadapi boss dan rutinitas pekerjaan... stress keenam
6. Selesai bekerja dan siap-siap pulang, berarti siap-siap menghadapi siklus stress berikutnya
Rutinitas di atas dilakukan tidak hanya beberapa hari saja, tapi berulang-ulang, bertahun-tahun bahkan selama hidupnya.
Apakah yang demikian yang dinamakan hidup yang berkualitas? bagaimana menghadapi dan menyiasati agar stress tidak menjadi depresi bahkan kegilaan?
Suatu manajemen stress harus kita terapkan agar kualitas hidup kita dapat diperbaiki. Bagi seorang karyawan yang memang kenyataan hidupnya harus menjadi karyawan, tidak perlu berubah profesi menjadi pedagang/pengusaha agar terhindar dari stress, yang terbiasa mengendarai mobil atau motor, tidak perlu berubah menjadi penumpang kendaraan umum atau ikut-ikutan menjadi biker untuk menghindari stress, karena pedagang/pengusaha, penumpang kendaraan umum juga menghadapi stress walau dalam bentuk yang berbeda.
Stress secara langsung lebih berpengaruh kepada emosional seseorang ketimbang phisik. Jika seseorang merasa lelah luar biasa setelah bermain bulutangkis, stress yang baru ia hadapi karena bermain bulutangkis tidak akan menjadikannya depresi tapi justru akan memotivasinya. Seseorang yang sedang duduk terdiam, memikirkan hutang-hutangnya yang tidak pernah terbayar berpotensi menjadi depresi, meskipun secara phisik dia tidak mengeluarkan energi.
Oleh karena itu, strategi kita adalah bagaimana mempertahankan emosi/jiwa kita untuk tidak terpancing saat menghadapi tekanan yang ada. Apapun caranya, bagaimanapun kita menghadapi stress selama jiwa/emosi kita tidak terpancing, stress tersebut tidak akan membuat kita depresi.
Berpikir positif, adalah suatu cara jitu menghadapi stress karena berpikir positif akan selalu menghindarkan emosi kita dari rasa marah, kesal, sebal, iri hati, letih, dan sebagainya. Namun sebaliknya, kita akan selalu merasa lapang, sabar, termotivasi, optimis dan sebagainya. Lebih banyak mendekatkan diri pada agama, mengerti dan melaksanakan sebaik-baiknya adalah solusi terbaik. Karena hal tersebut akan mengubah persepsi kita mengenai hidup ini yang penuh dengan stress...
Anda ingin sharing mengenai stress... ? silahkan kirim komentar anda...
Minggu, 30 Maret 2008
Langganan:
Postingan (Atom)